Kamis, Januari 31, 2008

Features : Soeharto, Dari Buku ke Buku

Memahami Pak Harto dari Buku Otobiografinya “Soeharto: Pikiran Ucapan dan Tindakan Saya” (bagian 1)

oleh: Gatot Aribowo

“Kebahagian itu tidak terletak pada pangkat dan kedudukan, tetapi pada amal yang baik. Itulah ajaran yang saya berikan kepada anak-anak saya,” ucap Pak Harto dalam buku otobiografinya “Soeharto: Pikiran Ucapan dan Tindakan Saya”.

Berbeda dengan Pak SBY yang salah satu anaknya jadi tentara, Pak Harto ternyata tak menurunkan jiwa kemiliteran ke anak-anaknya. Tak satupun anak-anaknya yang jadi tentara. Bahkan sebagai seorang tentara, Pak Harto justru seperti tak menginginkan generasinya ada yang mengikuti jejak ayahnya.
Dalam buku otobiografi “Soeharto: Pikiran Ucapan dan Tindakan Saya” yang terbit 20 tahun sebelum beliau tutup usia, Pak Harto memang merestui anak-anaknya untuk terjun dalam usaha bisnis. Bahkan mungkin Pak Harto tak menduga kalau bisnis anak-anaknya bisa membentuk kerajaan konglomerasi. Saking mengguritanya bisnis ini, Pak Harto sampai tak sadar kalau kelak salah satu anaknya ada yang jadi tersangka kasus korupsi.
Sebenarnya, jauh sebelum Tommy Soeharto tersangkut kasus korupsi, ayahnya telah mengingatkan untuk tak mendewakan harta. Pesan Pak Harto ini seperti ditulis dalam buku otobiografi yang diterbitkan tahun 1988 oleh PT Citra Lamtoro Gung Persada, yang dipaparkan G. Dwipayana dan Ramadhan K.H.

Berikut sedikit kutipannya:
Sekarang (1988) anak-anak saya sudah pada besar, sudah dewasa. Lima dari mereka sudah berumah tangga, dan kami sekarang sudah bercucu sebanyak 9 orang. Yang sulung, Siti Hardijanti Hastuti Indra Rukmana memilih menjadi wiraswasta di samping menjadi ibu rumah tangga. Tetapi nampak sekali ia lebih cenderung, lebih disibukkan oleh kegiatan-kegiatan sosial.
Yang bungsu, yang keenam, Siti Hutami Endang Adiningsih belum lama ini telah menjadi sarjana, menyelesaikan studinya di Institut Pertanian Bogor. Ia memilih untuk menjadi ahli statistik pertanian.
Sigit Harjojudanto, anak saya yang kedua memilih menjadi pengusaha.
Bambang Trihatmodjo, anak saya yang ketiga terjun ke dunia bisnis.
Siti Hediati Harijadi, keempat, selain menjadi ibu rumah tangga, anggota Persit, tentunya karena suaminya seorang ABRI, giat di bidang sosial, mengurus Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan.
Hutomo Mandala Putra, kelima, memilih menjadi pengusaha juga, melewati masa kesukaannya menjadi pembalap dan olahraga terbang.
Alhamdulillah, mereka semua jadi manusia - begitu sebutannya di tengah-tengah kehidupan kita sekarang - sementara saya mengharuskan mereka untuk mengetahui akan kewajiban mereka sebagai manusia yang hidup di tengah masyarakat luas. Kami didik mereka, terutama supaya ingat pada orang tua, supaya hormat dan mengerti akan kewajiban mereka sebagai anggota masyarakat, dan selalu takwa kepada Tuhan.
Nampaknya mereka mengerti akan kewajiban mereka untuk menaruh hormat pada kami sebagai orang tua. Mereka mengerti akan kewajiban mereka sebagai anggota masyarakat. Mengikuti petunjuk saya dan petunjuk ibu mereka, mereka giat di bidang sosial.
Tutut menjadi Ketua Umum Himpunan Pekerja Sosial Indonesia (HIPSI) sejak organisasi itu berdiri pada tanggal 11 Maret 1987. Maksudnya untuk meningkatkan mutu pelayanan sosial. Ia pun jadi bendahara Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan (YDGRK). Ia berkunjung ke berbagai daerah yang tertimpa bencana alam dan menyampaikan bantuan yayasan itu.
Siti Hediati Prabowo - begitu namanya sekarang - adik Tutut, terpilih sebagai Bendahara Umum HIPSI. Gantian dengan Tutut, ia menyerahkan bantuan kepada orang-orang yang tertimpa bencana alam di pelbagai daerah.
Tutut juga jadi Ketua Umum Yayasan Tiara Indah, membantu upaya perajin kecil, misalnya penenun dalam memasarkan produksinya. Yayasan ini telah diberi hadiah Upakarti oleh pemerintah yang diserahkan langsung oleh Presiden.
Tutut juga duduk sebagai pimpinan PT Citra Lamtoro Gung Persada. Ia juga anggota Majelis Pemuda Indonesia. Ia memang tertarik pada pekerjaan sosial. Ia katakan, sejak lahir sampai mati kita ditolong orang lain. Itu ajaran yang kami berikan kepadanya, agar tidak hidup sendirian, tetapi bermasyarakat.
Mereka gerakkan organisasi sosial itu, sehingga sekarang sudah ada empat ratus ribu orang anggotanya, lulusan sekolah kesejahteraan sosial. Tentang ini Tutut berpikir - sesuai dengan ajaran yang diberikan ibunya - pekerja sosial harus profesional, jangan setengah-setengah.
Anak-anak kami juga mengagumi cara kami membina dan mendidik mereka.
Saya tidak ingin anak-anak saya mendewakan harta dan pangkat. Yang saya harapkan, mereka meningkatkan ketakwaan dan patuh kepada Tuhan, mengabdi kepada orang tua, masyarakat, negara dan bangsa.
Pepatah Jawa menyebutkan, mempunyai harta benda itu tandanya dapat menguasai dunia, hanya saja usahakanlah ketentraman lahir batin, yaitu lahir seimbang dengan batin.
Bagaimana pandangan saya mengenai seseorang yang mendapat rizki cukup di tengah pembangunan kita sekarang?
Memang kita mempunyai hak untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar mendapat rizki yang cukup, dan berusaha memperoleh petunjuk dari Tuhan agar kita mendapat keberuntungan. Kalau keinginan kita itu sampai terwujud, jelas kita harus bersyukur. Kalau kita berhasil lagi, patut kita mensyukuri-Nya lagi. Tapi ingat, kita tidak boleh mendewakan harta, melainkan menggunakannya untuk melaksanakan kewajiban kita, ialah berbuat baik kepada sesama manusia.
Kebahagian itu tidak terletak pada pangkat dan kedudukan, tetapi pada amal yang baik. Itulah ajaran yang saya berikan kepada anak-anak saya.
(bersambung)

Tidak ada komentar: