Selasa, Desember 18, 2007

Enita Rouw, Orang dengan HIV/AIDS

Menemukan Kembali Semangat Untuk Tetap Hidup

oleh: Klemens RM

Vonis mati untuk ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) tak membuatnya takluk. Kesedihan yang mendera tak selamanya harus diikuti. Inilah perjalanan hidup yang harus dilaluinya.

Siang di pelataran parkir Toko Sumber Makmur, di lingkaran Abepura, Jayapura . Enita Rouw sedang sibuk mengatur keluar masuknya mobil dari parkiran toko. Hari itu ia mengenakan stelan kaos berwarna kuning, dengan hiasan warna merah pada lengan kiri dan bagian bawah. Di lehernya melingkar kantong warna merah menyala, tempat ia menaruh telpon genggam.
Di kepalanya melingkar topi golf, melindungi wajahnya dari sengatan matahari. Model rambutnya tomboy, mencirikan sifatnya yang kelaki-lakian.
Disela-sela mengatur parkir di Toko Sumber Makmur, Enita keluar dari lokasi parkiran, menuju barisan taksi (angkot) Waena yang mangkal tak jauh dari situ.
Ia pun berteriak, “Waena Waena Waena,” ke arah calon penumpang.
Satu per satu penumpang taksi jurusan Waena naik. Setelah penuh, taksi pun jalan. Uang seribu rupiah Enita terima dari balik kaca sopir taksi.
Enita menjalani pekerjaan tukang parkir dan calo hanya setengah hari. Kebetulan hari itu ia mengambil giliran shift pagi. Jadi sebentar lagi ia bisa menjalani pekerjaan lain, menjualkan pinang milik temannya.
Dibalik semangat kerjanya hari itu, Enita menyimpan kesedihan mendalam sebagai seorang penderita HIV/AIDS. Namun jarang sekali ia memunculkannya di depan orang. Apalagi di depan anak satu-satunya. Hanya keceriaan yang ingin ia tampilkan, seperti saat ditemui di Shelter Jayapura Support Group (JSG), di Jl. Ayapo No.12 Abepura, Jayapura.
“Saya ini mengidap HIV/AIDS, tapi anak saya tidak,” kata Enita.
Keceriaan ini berbeda saat divonis terjangkit HIV/AIDS, November 2004. Ketika itu usianya baru 24 tahun.
“Saat itu yang ada hanya putus asa dan tak ada semangat hidup. Cita-cita sepertinya lenyap seketika,” katanya mengingat kejadian 3 tahun silam.
Lalu siksaan batin pun menderanya selama 2 bulan.
Untunglah datang JSG.
Memasuki tahun 2005, semangat hidup Enita kembali. Ia berpikir bahwa tak bisa terus-terusan meratapi apa yang terjadi. “Saya tak patut menyesalinya. Saya tidak perlu menyalahkan siapa-siapa. [Apa yang terjadi] ini adalah dari kesalahan saya sendiri.”
Enita anak ke-4 dari sekian saudara. Ia termasuk anak yang cukup nakal. Kehidupannya dekat dengan jalanan. Sex, miras dan narkoba jadi konsumsi sehari-hari. Gonta-ganti pasangan menjadi bagian dari hidupnya saat itu. Dari situlah ia tiba-tiba merasa perlu tes darah di JSG. Hasilnya ia ambil di klinik VCT RSUD Dok II Jayapura.
“Saya tak tahu dari siapa virus itu menular ke saya.”
Enita tak ambil pusing lagi, mencari siapa yang menularinya penyakit mematikan itu. Dorongan demi dorongan dari JSG membuatnya bertahan hidup. Apalagi masih ada 1 anak yang perlu dapat perhatian dan kasih sayangnya.
Dorongan itu yang akhirnya membuat Enita aktif dalam berbagai kegiatan dan pekerjaan tambahan. Ia pernah jadi outreach worker pada Yayasan Harapan Ibu. Ia pun pernah menjalani pekerjaan di Pusat Studi Kependudukan Uncen. Terakhir tanggal 31 Juli – 1 Agustus 2007 Enita mendapat kepercayaan dari JSG, mengikuti Kongres ODHA di Hotel Lido, Bogor, Jawa Barat.
Kini yang ingin ia lakukan adalah membesarkan anaknya di lingkungan dan keluarga yang selalu memberikan perhatian. Tak ada diskriminasi dari teman, keluarga dan lingkungannya.
“Anak saya adalah inspirasi, dan semua usaha yang saya lakukan saat ini semata-mata untuk membesarkan dan menyekolahkan dia, dan saya ingin setelah besar nanti dia bisa mengerti bagamana ibunya berusaha untuk membesarkan dan menyekolahkannya” kata Enita.
Ia pun lalu memberikan pesan agar stigmatisasi ODHA yang hinggap di masyarakat dihilangkan. Ia pun berpesan ke Komisi Penanggulangan AIDS agar memberdayakan ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) untuk bekerja di klinik VCT maupun KPA sendiri, supaya bisa membagi pengalaman dan mendorong ODHA membuka diri untuk menjaga masyarakat dari infeksi HIV/AIDS.Ia juga berpesan agar tidak memasang iklan yang mendiskriminatifkan ODHA. Ia merasa iklan-iklan yang ada di Jayapura sangat diskriminatif. (*)

Tidak ada komentar: