Senin, Desember 17, 2007

Bintang: Latifah Anum Siregar, SH

Perempuan Pertama Indonesia Peraih “Woman Peacemaker” Universitas San Diego, Amerika Serikat
Melihat Nilai Lokal Untuk Memenuhi Rasa Keadilan

Tak lama lagi film dan buku yang bersumber dari dokumentasi perjalanan aktivis perempuan di seluruh dunia dalam bekerja serta motivasi mereka di bidang itu, akan beredar yang disponsori dari tim Institute Peace and Justice “Joan B. Kroch” Universitas San Diego, Amerika Serikat. Sang peraih, Latifah Anum Siregar, SH Aktivis Perempuan Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP), 27 Oktober 2007 lalu, meraih penghargaan “ Woman Peacemaker” dalam bidang HAM.

Oleh : DEFRIANTI

Sejak 2003 lalu, Institue Peace and Justice “ Joan B. Kroch” Universitas San Diego, Amerika Serikat telah menggelar program “ Woman Peacemaker” dengan melakukan seleksi kepada aktivis perempuan di seluruh dunia yang bergerak dalam bidang Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam Seleksi itu, Universitas ternama di Amerika Serikat memilih empat perempuan yang pantas meraih penghargaan “Woman Peacemaker”.
Selain aktivis perempuan, Institue ternama di Amerika Serikat itu, juga memilih penulis perempuan “ Women Peacewriter” untuk dipasangkan dengan peraih penghargaan “Woman Peacemaker”.
Tujuan dilakukan seleksi terhadap aktivis perempuan dalam bidang HAM itu, adalah untuk membuat dokumentasi dari hasil dokumen yang dibawah peserta dari masing-masing negara.
Seleksi yang dimulai awal 2007, tak hanya berdiskusi setiap hari tetapi para peserta diwawancarai oleh penulis dan tim film, ceramah bahkan bertemu dengan organisasi perempuan dan HAM.
Semangat perempuan kelahiran Jayapura, 26 April 1968, untuk bergerak dalam bidang Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sangat besar. Meskipun lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang berlatar belakang jaksa militer. Misalnya, pada tahun 1989 telah bergabung dalam Pusat Peran Serta Masyarakat, Himpunan Mahasiswa Islam dan tahun 2000 bergabung dalam tim ALDP.
“ Dikeluarga kami sangat demokrasi, yang penting bisa mempertanggung jawabkan semua yang kami lakukan dan bergabungnya saya ke LSM berasal dari inspirasi ibu, “ ujarnya saat ditemui di kediamannya kompleks Bucend II Entrop, Minggu(16/12).
Mantan Ketua HMI Papua itu, mengakui penegakan HAM di Papua tidak berjalan sesuai dengan apa yang dikehendaki dari korban. Karena persoalan instrumen yang yang tidak diakomodir.
Selain itu, kepentingan subyek dari orang-orang yang terlibat dalam perkara tapi juga penegak hukum tidak memiliki komitmen yang tegas untuk penegakan HAM. Perubahan sosial-politik juga, turut mempengaruhi institusi-institusi tetapi instrumen dalam masyarakat. Sehingga lebih banyak proses penegakan HAM itu, dilakukan bukan akibat kesadaran HAM tersebut harus ditegakkan tetapi karena tuntutan dari berbagai pihak yang mendesak.
Padahal, penegakan HAM merupakan salah satu cara penyelenggaraan pemerintahan di Papua untuk menjadi lebih baik.
Menurutnya, HAM dan penguatan masyarakat adat, yang diambil dalam thema dalam ajang “Woman Peacemaker” yaitu bagaimana melihat nilai-nilai lokal memenuhi rasa keadilan. Dalam penguatan masyarakat adat, juga mengambil langkah bagaimana orang mencoba untuk melakukan berbagai macam mekanisme hukum untuk memenuhi rasa keadilan yakni dengan menggunakan diluar hukum formal indonesia, seperti hukum adat, perbincangan di para-para adat dan perkembangan HAM di Papua.Secara umum persoalan HAM menjadi salah satu soal utama di Papua. Karena berbagai situasi politik dan ekonomi- sosial- budaya yang membuat hak-hak masyarakat terabaikan. Mekanisme untuk menyelesaikan atau alat instrumen yang dipergunakan untuk memperjuangkan HAM sangat terbatas dan hukum positif di Indonesia masih terbatas. Sebab banyak permasalahan masyarakat adat yang ternyata tidak bisa diselesaikan melalui hukum positif. (**)

Tidak ada komentar: