Senin, Desember 17, 2007

Laporan Khusus: Berburu Buku "Tenggelamnya Rumpun Melanesia"

"Tenggelamnya Rumpun Melanesia"

oleh : Gatot Aribowo

Jaksa memburu buku "Tenggelamnya Rumpun Melanesia" untuk disita. Masyarakat memburunya karena penasaran, apa isinya? Disisi lain, potensi dunia tulis menulis yang tumbuh di Papua jadi terancam. Kebebasan berekspresi terganggu.

Dunia tulis menulis di Jayapura digoyang Jaksa Agung. Melalui Surat Keputusannya, Jaksa Agung Hendarman Supandji menarik peredaran buku berjudul "Tenggelamnya Rumpun Melanesia" yang ditulis Sendius Wonda. Buku ini ditarik Kejaksaan Negeri Jayapura dari Toko Buku Gramedia, setelah diperintahkan Jaksa Agung melalui keputusannya Kep-123/A/JA/11/2007.
Sebanyak 55 buku yang tersisa diambil dari Gramedia Jayapura.
"Kami didrop penerbit sebanyak 100 buku. 45 buku telah terjual," kata Iwan Van Wilan Haro, Supervisor Penjualan Toko Buku Gramedia Jayapura.
Buku itu didrop ke Gramedia Jayapura akhir November lalu. Sementara surat keputusan Jaksa Agung dikeluarkan tanggal 27 November 2007.
Dalam jangka waktu tidak lebih 15 hari buku telah terjual 45. Hitung-hitungan, dalam sehari buku tersebut terjual 2 hingga 3 buku. Harga buku itu Rp 42 ribu.
"Kebanyakan memang yang beli masyarakat asli Papua," kata Iwan.
Buku "Tenggelamnya Rumpun Melanesia" yang telah dibeli masyarakat itu oleh Jaksa Agung diminta kembali. Dengan keputusannya Jaksa Agung meminta masyarakat Jayapura yang telah beli dan memiliki buku itu agar menyerahkan buku tersebut ke Kejaksaan Tinggi Papua dan Kejaksaan Negeri Jayapura.
Jaksa Agung menilai isi buku tersebut telah mengganggu ketertiban umum, dan dapat memecah persatuan dan kesatuan bangsa.
Nico Mauri, salah seorang warga asli Papua yang tinggal di Tasangka Jayapura mengklaim buku karangan Sendius Wonda merupakan pelanggaran hukum rohani. Ia menilai buku itu bertentangan dengan Kodrat Allah.
“Contoh isi dalam buku itu adalah perkawinan silang. Perkawinan itu anugerah. Dan tidak benar jika dikatakan perkawinan silang akan melenyapkan ras Melanesia. Istri saya sendiri bukan peranakan Papua. Tapi saya tidak merasa ras Melanesia saya hilang,” kata Nico.

Buku "Tenggelamnya Rumpun Melanesia" bersampul warna kuning keputih-putihan. Di sudut kiri tertulis Penerbit DEIYAI, dengan latar gambar burung cenderawasih. Di bawah judul buku tertulis: Pertaruangan Politik NKRI di Papua Barat, dengan ukuran huruf yang lebih kecil dari tulisan Tenggelamnya Rumpun Melanesia. Di bawahnya ada latar gambar peta provinsi Papua, diberi warna coklat kelam.
Dibawah nama pengarang, dicantumkan tulisan: Menguak fakta pertarungan politik dan pembangunan NKRI terhadap eksistensi Rumpun Melanesia di bumi Papua Barat. Sebagai juru selamat, perangkap, atau malapetaka?
Buku tersebut diberi pengantar Socratez Sofyan Yoman, Ketua Umum Badan Pelayanan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua.
Sofyan menulis pengantarnya setebal 10 halaman, tertanggal 27 Agustus 2007.
Buku itu dicetak di Yogyakarta oleh Galangpress.
Buku "Tenggelamnya Rumpun Melanesia" termasuk buku yang ditulis dari pengalaman pribadi Sendius Wonda. Seperti dalam perkawinan silang yang ditulis di bagian enam. Dalam bagian itu Sendius sempat mengungkapkan kemarahannya atas pernyataan yang dilontarkan temannya semasa kuliah di Malang untuk mengawini perempuan non Papua.
Dalam membuat tulisan, Sendius lebih menyandarkan fakta-fakta yang terungkap dari media. Tidak sedikit kutipan dari laporan media lokal maupun nasional yang dimuat dalam buku tersebut. Dari laporan-laporan media, penulis mengapresiasinya.
Apresiasi diutarakan dalam tulisan berbentuk kekecewaan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia dan sikap pejabat-pejabat asli Papua. Ia juga meng-apresiasi penguasaan sektor-sektor ekonomi oleh masyarakat non Papua.
Isi buku dari karangan Sendius Wonda lebih banyak menyinggung pertentangan antara ras Melanesia dan Melayu yang ada di Papua dan Indonesia. Buku yang memuat 7 bagian dengan ketebalan 248 halaman itu mengungkapkan kemarahan penulisnya atas pemerintah Indonesia dan lemahnya masyarakat asli Papua terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Indonesia untuk Papua.
Pada bagian tiga buku tersebut, Sendius mengelompokkan masyarakat asli Papua menjadi tiga golongan dalam menyikapi kebijakan pemekaran. Ia menulis, 3 golongan itu adalah masyarakat Papua asli yang tidak memiliki pendirian, masyarakat Papua asli yang tidak mau tahu serta masyarakat dan pejabat Papua yang ambisius dalam proses pemekaran.
Ia juga mengklaim dalam bukunya bahwa kebijakan otonomi khusus tanpa mempersiapkan terlebih dulu SDM asli Papua akan menyingkirkan orang asli Papua dari jabatan-jabatan kunci di pemerintahan.
Dalam bukunya Sendius mengkritisi masyarakat Papua yang lebih banyak menghambur-hamburkan uang saat jadi pejabat. Ia juga mengkritisi peredaran minuman keras yang telah mempengaruhi moralitas masyarakat asli Papua. Kritisi ini ia masukkan dalam bagian lima dari bukunya.
Mengenai HIV/AIDS, Sendius menulisnya di bagian empat. Ia mengkritisi tidak adanya kebijakan pemerintah untuk menutup lokalisasi-lokalisasi dan tempat-tempat hiburan seperti bar dan panti-panti pijat yang ia duga menjadi tempat prostitusi.
Di bagian akhir dari buku, Sendius mengeluarkan 3 rekomendasi. Dua diantaranya: perlunya pemerintah membuat perda untuk melindungi hak-hak orang Papua dan perlunya perda yang menutup ijin pasokan miras.

Di Gramedia, buku-buku karya penulis Papua telah banyak bermunculan. Sedikitnya ada 18 penulis asli Papua yang telah mengeluarkan karya-karyanya dalam bentuk buku. Ada buku-buku karya Frits B Ramandey, karya Ketua MRP Agus Alua, karya Roberth Isir dan lain-lain. Buku-buku karya penulis Papua ini ditempatkan tersendiri oleh Gramedia. Tata letaknya sering diubah-ubah.
“Ini untuk menghidari kejenuhan saja,” kata Supervisor Penjualan Toko Buku Gramedia Jayapura, Iwan Van Wilan Haro,
Buku-buku yang ditulis banyak bersentuhan dengan politik. Tak sedikit juga yang bersentuhan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat Papua. Bahkan Roberth Isir menulis buku tentang bahaya minuman keras.
Buku "Tenggelamnya Rumpun Melanesia" termasuk buku yang bersentuhan dengan politik dan sosial masyarakat Papua.
Frits B Ramandey telah mengeluarkan 13 karya buku. Frits termasuk salah satu wartawan di Jayapura yang aktif mengeluarkan buku. Sebentar lagi ia akan mengeluarkan 3 naskah buku.
Sebagai penulis, Frits cukup terganggu dengan tindakan Jaksa Agung yang melarang peredaran buku "Tenggelamnya Rumpun Melanesia", dan ia menyayangkannya.
“Itu tindakan represif. Membungkam kebebasan berekspresi,” katanya.
Kalau ada ISBN, kata Frits, kenapa musti ditarik.
ISBN adalah nomor seri yang dikeluarkan perpustakaan nasional. Sebelum mengeluarkan nomor seri, perpustakaan nasional sudah melihat daftar isi buku.
“Jadi ini juga dilindungi undang-undang,” kata Frits.Sepanjang tahun ini kejaksaan sedikitnya telah menarik peredaran buku sebanyak 2 judul. Yang pertama buku yang mengulas tentang sejarah G 30 S PKI, yang edar sebagai buku pelajaran sekolah. Buku ini bahkan sempat dimusnahkan dengan cara dibakar. Yang kedua buku "Tenggelamnya Rumpun Melanesia" yang edar di Indonesia November lalu. (*)

1 komentar:

akhi mugis mengatakan...

Dulu
Aku selalu duduk di serambi hatimu
Menunggu saat kau datang
Membawa sekeranjang angan indah
Untuk kurangkai
Membunuh sepi dan sedih

Aku selalu berdiri membilang hari
Menunggu putaran itu berhenti
Rindu untukmu hampir menggunung
Hingga aku bingung
Kemana harus kubuang rindu ini?
Lalu kuambil sepotong rembulan untukmu
Kuletakkan tepat disampingmu
Agar kau bisa membisikkan kata rindu untukku